ABDULLAH BIN UMAR_“Menghindari Jabatan, Anti Kekerasan”


IBNU UMAR sangat bergairah ketika panggilan jihad berkumandang. Tetapi, sungguh suatu kenyataan, ia anti kekerasan, terlebih ketika yang bertikai adalah sesame golongan Islam. Kendati ia berulangkali mendapat tawaran bebagai kelompok politik untk menjadi khalifah, namun tawaran itu ditolaknya.
Hasan meriwayatkan, tatkala Utsman bin Affan terbunuh, sekelompok umat Islam memaksanya menjadi khalifah. Mereka berteriak di depan rumah Ibnu Umar, “Anda adalah seorang peminpin, keluarlah agar kami minta orang-orang berbai’at kepada anda.” Tapi Ibnu Umar menyahut,”Demi ALLAH, seandainya bisa, janganlah ada darah walau setetespun tertumpah disebabkan karena aku.” Massa di luar mengancam, “Anda harus keluar. Atau, kalau tidak kami bunuh di tempat tidurmu.” Diancam begitu, Ibnu Umar tak bergerak. Massa pun bubar.

Sampai suatu ketika, datang lagi ke sekian kali tawaran menjadi khalifah. Ibnu Umar mengajukan syarat, yakni asal ia dipilih seluruh kaum muslimin tanpa paksaan. Jika bai’at dipaksakan sebagian orang atas sebagian lainnya di bawah ancaman pedang, ia akan menolak jabatan khalifah yang dicapai dengan cara semacam ini. Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan terpenuhi. Mereka sudah terpecah menjadi beberapa firqah, saling mengangkat senjata juga. Ada yang kesal lantas menghandik Ibnu Umar.

“Tak seorangpun lebih buruk perlakuannya terhadap umat manusia, kecuali kamu.” Ungkap mereka.

“Kenapa? Demi ALLAH aku tidak pernah menumpahkan darah mereka, tidak pula berpisah dengan jamaah mereka, apalagi memecah-mecah persatuan mereka?” jawab Ibnu Umar heran.

“Seandainya kamu mau menjadi khalifah, tak seorangpun akan menentang.”

“Saya tidak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang yang lain tidak.”

Lagi-lagi, Ibnu Umar menghindari posisi pemimpin tertinggi umat Islam ini.  Meski demikian, saat ia berusia lanjut pun harapan orang dipimpin Ibnu Umar tetap ada. Ketika Muawiyah II, putera Yazid beberapa kali menduduki jabatan khalifah, datang marwan menemui Ibnu Umar.

“Ulurkan tangan anda agar kami berbaiat. Anda adalah pemimpin Islam dan putra dari pemimpinnya.”

“Lantas apa yang kita lakukan terhadap orang-orang bagian timur?”

“Kita gempur mereka sampai mau berbaiat.”

“Demi ALLAH, aku tak sudi dalam umurku yang 70 tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan olehku.”

Mendengar jawaban ini, Marwan pun berlalu, dan melontarkan syair.

“Api fitnah berkobar sepeninggal Abu Laila, dan kerajaan akan berada di tangan yang kuat lagi perkasa. “Abu Laila yang dimaksudkannya, ialah Muawiyah bin Yazid.

Sikap penolakan Ibnu Umar ini, karena ia ingin netral di tengah kekalutan para pengikut Ali dan Muawiyah. Sikap itu diungkapkannya dengan pernyataan, “Siapa yang berkata ’Marilah shalat’, akan kupenuhi. Siapa yang berkata “Marilah menuju kebahagiaan”, akan kuturuti pula. Tetapi siapa yang mengatakan “Marilah membunuh saudara kita seagama dan merampas hartanya, maka saya katakana: tidak!”

Ini bukan karena Ibnu Umar lemah, tetapi karena ia sangat berhati-hati, dan amat sedih jika umat Islam terpecah dalam beberapa golongan. Ia tak suka berpihak pada salah satunya.


Sumber: Buku “101 SAHABAT NABI”_Hepi Andi Bastoni 
Previous
Next Post »